Jakarta, 27 Oktober 2022 – Seiring bertambahnya jumlah penduduk tentu kebutuhan akan energi akan meningkat. Bonus demografi menjadi acuan standar akan peningkatan kebutuhan energi listrik. Hal ini termasuk terjadi di Indonesia.
Di sisi lain, cadangan energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi terus mengalami penurunan dan suatu hari nanti, dipastikan akan habis. Di Indonesia sendiri, jumlah cadangan energi fosil hanya sekitar 28 miliar ton dan diprediksi akan habis dalam kurun waktu 71 tahun, sebagaimana dilansir dari Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan).
Meningkatnya kebutuhan energi listrik di berbagai sektor terus mengalami peningkatan, rata-rata sekitar 9 persen per tahun. Alhasil, krisis energi tak bisa dihindari lagi mengingat sumber listrik berasal dari energi fosil.
Di masa yang akan datang, tentu peningkatan energi listrik menjadi suatu yang niscaya disamping menggenjot kualitas lingkungan yang lebih bersih.
- Advertisement -
Upaya transisi energi terus digalakan pemerintah guna mengatasi krisis energi karena sumber energi fosil yang terus mengalami pengurangan. Sumber energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi lahan yang terus dimaksimalkan agar proses transisi energi bisa tercapai.
Termasuk pemanfaatan energi alternatif semisal pengembangan energi uranium atau nuklir. Energi nuklir bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik yang bersih. Kenapa bersih, karena jumlah gas buangan yang diperoleh dari reaktor nuklir sangat sedikit.
Berdasarkan catatan IAEA, pembangkit listrik berkapasitas 1.000 MWe menggunakan bahan bakar batu bara tapi tanpa pengolahan limbah akan menghasilkan sekitra 320 ribu ton fly ash and bottom ash (FABA) di mana abu itu mengandung zat merkuri dan yang lainnya. Ditambah lagi materi sulfur oxides dan nitrous oxide yang merupakan bagian dari fly ash.
Sementara itu, limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hanya berupa elemen bakar bekas dalam bentuk padat. Elemen ini untuk sementara waktu bisa disimpan di lokasi PLTN sebelum akhirnya disimpan secara lestari.
Menariknya lagi, harga bahan bakar uranium pun relatif lebih mampu bersaing. Berdasarkan catatan World Nucleus Association, biaya bahan bakar PLTN hanya sepertiga dari biaya pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara.
Urusan jumlah limbah radioaktif yang dihasilkan PLTN pun cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan limbah sisa pembakaran pembangkit listrik menggunakan batu bara.
Ilustrasinya, satu unit PLTN berjenis Pressurized Water Reactor (PWR)–reaktor nuklir mengandalkan tekanan air sebagai pendingin dan pelambat neutron–berdaya 1.000 MWe dengan masa operasi selama 40 tahun hanya membutuhkan tempat penyimpanan limbah radioaktif 120 meter kubik.
Selain itu, urusan biaya pun cenderung lebih murah. Sebagai contoh, untuk membangkitkan 1 KWh listrik menggunakan pembangkit konvesional dihargai sekitar Rp600, tapi ketika menggunakan energi nuklir hanya berharga setengahnya. Tentu lebih murah, bukan.
Belum lagi masalah penggunaan bahan bakan di mana energi nuklir akan menghasilkan daya setrum lebih besar dengan jumlah bahan bakar yang lebih minim. Satu gram uranium bisa menghasilkan energi setara 112 kg batu bara. Efisiensi pun dapat dilihat dari waktu siklus daur bahan bakar nuklir yang berkisar antara 1,5 tahun, di mana menjadi waktu penggantian bahan bakar.
PLTN pun terbilang bersifat fleksibel, di mana dengan konsep reaktor nuklir mini portabel, maka situs PLTN dapat menjangkau lokasi manapun. Hal ini tentu sangat sesuai dengan kondisi negara maritim seperti Indonesia.
Ditambah, PLTN dapat membangkitkan listrik secara masif dan konstan sepanjang tahun karena tidak bergantung dengan cuaca, seperti pembangkit listrik menggunakan energi angin, surya ataupun air.