Jakarta, 4 November 2022 (SAHITYA.ID) – Energi hijau adalah semua jenis energi yang berasal dari sumber daya alam, seperti angin, panas bumi dan sinar matahari. Sepintas energi hijau memiliki banyak kesamaan dengan energi terbarukan, padahal tidak semua energi terbarukan masuk ke kategori energi hijau.
Kunci utama dari energi hijau yakni sumber energi yang tidak merusak lingkungan. Ada keterkaitan antara sumber energi dan urusan lingkungan. Energi jenis ini tidak memberikan dampak negatif seperti pelepasan emisi gas rumah kaca atau emisi karbon (CO2).
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”categories” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
Gampangnya, memahami perbedaan energi hijau dan terbarukan bisa kita ilustrasikan melalui penjelasan tentang energi terbarukan yang berasal dari kelapa sawit. Apakah kelapa sawit termasuk energi hijau, belum tentu juga, sahabat Sahitya.id.
- Advertisement -
Pasalnya, sebelum menanam kelapa sawit ada alih fungsi lahan, seperti yang terjadi di Kalimantan, di mana huta-hutan dibuka dan digantikan penanaman kelapa sawit. Hal ini tentu merusak lingkungan, sehingga energi yang bersumber dari kelapa sawit gagal masuk sebagai energi hijau.
Dirangkum dari website TWI Global, berikut ini beberapa bentuk energi hijau:
1. Tenaga surya
Tenaga surya termasuk ke dalam energi terbarukan sekaligus energi hijau. Energi yang bersumber dari sinar matahari tersebut biasanya diproduksi menggunakan sel fotovoltaik yang mampu menjaring sinar matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik.
Manfaat yang diberikan energi sinar matahari tentu sangat banyak. Selain bisa dikonversi menjadi setrum, sinar matahari pun merupakan bagian penting dalam proses fotosintesis dalam perkembangan tumbuhan.
2. Tenaga angin
Energi angin pun tergolong ke dalam energi hijau. Kekuatan aliaran udara di seluruh belahan dunia bisa dijadikan sebagai sumber penggerak turbin hingga menghasilkan listrik.
3. Tenaga air
Pembangkit listrik tenaga air bekerja dengan cara memanfaatkan aliran air di sungai, bendungan atau di tempat lainnya guna menghasilkan listrik. Bahkan, pembangkit listrik tenaga air ini bisa bekerja dalam skala kecil seperti memanfaatkan arus air dari pipa di rumah kamu.
Pertanyaannya, seberapa hijau sih suatu sumber energi tersebut? Ya, tergantung dari bagaimana cara mereka direkayasa untuk mengubah energi lain.
4. Energi termal
Termal atau panas bumi merupakan sebuah energi yang bersumber dari panas bumi yang tersimpan di bawah kerak bumi. Pemanfaatan energi panas bumi menjadi setrum, banyak dipertanyakan aktivis lingkungan, mengingat membutuhkan serangkaian proses pengeboran dan yang lainnya untuk bisa meraup hasil dari panas bumi menjadi listrik.
Namun, energi panas bumi ini sangat besar manfaatnya dan tergolong dalam energi terbarukan. Selain dikonversi menjadi listrik, panas bumi sudah dimanfaatkan sebagai sumber air panas untuk mandi.
Bahkan, uap dari termal digunakan sebagai sumber energi untuk memutar turbin hingga mampu menghasilkan tegangan listrik.
Sebagai catatan energi termal yang tersimpan di bawah Amerika Serikat saja sudah cukup untuk menghasilkan listrik 10 kali lipat lebih banyak daripada batu bara saat ini. Sementara beberapa negara, seperti Islandia, memiliki sumber daya panas bumi yang mudah diakses.
5. Biomassa
Biomasi termasuk ke dalam energi terbarukan. Namun, agar energi ini bisa masuk dalam katergori energi hijau, maka perlu dikelola dengan sangat hati-hati dan regulasi ketat.
Pembangkit listrik biomassa menggunakan limbah kayu, serbuk gergaji hingga limbah pertanian organik yang mudah terbakar hingga menghasilkan listrik. Nah, proses pembakaran tersebut melepaskan gas rumah kaca yang jauh lebih rendah daripada bahan bakar berbasis fosil.
6. Bahan bakar nabati
Ada lagi solusi yang lebih hijau daripada membakar biomassa yang sempat disinggung di atas, yakni bahan bakar nabati yang mampu dikonversi menjadi bahan bakar seperti etanol dan biodesel.
BBN memasok hanya 2,7% dari bahan bakar dunia untuk transportasi pada tahun 2010. Kedepan, biofuel diperkirakan memiliki kapasitas untuk memenuhi lebih dari 25% dari permintaan bahan bakar transportasi global pada tahun 2050.