Jakarta, 16 Oktober 2022 – Penggunaan mata uang kripto dengan berbagai keunggulan dan kemudahannya ternyata membawa serta isu yang lebih fundamental dalam beberapa tahun terakhir yakni penggunaan energi yang semakin besar.
Di samping itu, isu dari mana energi tersebut juga semakin penting karena mayoritas sumber energi di dunia masih berasal dari barang tambang ekstraktif seperti misalnya batu bara.
Penggunaan mata uang kripto semakin masih dalam beberapa tahun belakangan. Lahirnya mata uang digital tersebut menghadirkan berbagai aspek positif seperti adanya transparansi, kecepatan transaksi, dan juga keamanan.
Beberapa negara seperti misalnya El Salvador sudah mulai mengadopsi mata uang kripto sebagai alat pembayaran domestik. Sejak munculnya Bitcoin pada 2008, berbagai mata uang kripto bermunculan dan memiliki berbagai kegunaan dan keunggulan.
- Advertisement -
Hal yang cukup menjadi perhatian dari adanya proliferasi penggunaan mata uang kripto dan perluasan adopsi di dalam ekonomi masyarakat dunia adalah energi listrik yang digunakan untuk tetap menjamin sistem blockchain, yang menjadi dasar dari mata uang kripto tetap berjalan.
Aktivitas penggunaan dan penambangan (mining) mata uang kripto yang mengonsumsi energi listrik yang besar, yang mana mulai memicu negara-negara untuk mulai meregulasi aktivitas penggunaan mata uang kripto.
Salah satu contoh studi kasus aktivitas penambangan mata uang kripto di daerah aliran Sungai Mid-Columbia di timur Washington yang berdampak pada penduduk lokal, pemanfaatan infrastruktur publik dan lingkungan. Daerah ini sangat menarik bagi penambang mata uang kripto karena aliran Sungai Mid-Columbia di timur Washington menyediakan sumber energi yang berlimpah untuk pembangkit listrik di bendunganbendunganya.
Energi yang berasal dari aliran sungai Mid-Columbia di timur Washington itu tersedia, murah, dan mudah disalahgunakan oleh para penambang mata uang kripto. Dengan harga listrik yang murah, para penambang mata uang kripto ini mulai berbondong-bondong menempati area tersebut dan mulai membangun tempat penambangan mata uang kriptonya dengan harapan mendapat margin keuntungan sebesar mungkin dari harga listrik yang murah pada 2017 ketika harga Bitcoin mulai meroket.
Akibatnya, dengan adanya para penambang mata uang kripto, perusahaan penyedia listrik ini tidak dapat lagi menjual listrik ke penduduk lokal dengan harga yang sangat murah, sebab sekitar 70% listrik yang tersedia telah digunakan oleh para penambang mata uang kripto yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan ini harus membeli listrik dari daerah luar yang lebih mahal, untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah sekitar aliran sungai Mid-Columbia di timur Washington.
Berdasarkan informasi dari Columbia Climate School, energi yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem Bitcoin saja melebihi konsumsi energi Argentina per tahun. Konsumsi energi listrik yang demikian masifnya menghasilkan 65 megaton karbondioksida setiap tahun di mana total ini setara dengan jumlah emisi yang dihasilkan oleh negara Yunani setiap tahunnya.
Bahkan energi yang digunakan dalam proses penambangan Bitcoin per menitnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi rata-rata rumah tangga Amerika Serikat selama 17 tahun. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cambridge University, penambangan Bitcoin menggunakan listrik lebih dari konsumsi listrik gabungan dari Ukraina dan Norwegia per tahun.
Menambang Mata Uang Kripto
Proses menambang mata uang kripto (Cryptocurrency Mining) merupakan usaha lain untuk memiliki mata uang kripto selain dengan membelinya langsung di platform penyedia jual beli mata uang kripto (Proof-of-Stake).
Caranya yaitu dengan melakukan perhitungan matematis (Proof-of-Work) guna membantu memvalidasi transaksi yang ada untuk kemudian data dari transaksi tersebut dimasukkan ke dalam blockchain, dan sebagai imbalan dari aktivitas tersebut, miner atau penambang akan memperoleh reward atau imbalan berupa mata uang kripto juga.
Sistem menambang ini dibutuhkan sebab mata uang kripto yang tidak mempunyai otoritas pusat untuk memvalidasi suatu transaksi seperti Bank atau pihak ketiga lainnya pada transaksi keuangan pada umumnya.
Sistem Proof-of-Work (PoW) selain untuk memvalidasi suatu transaksi, sekaligus juga mencegah masalah double spending pada transaksi keuangan elektronik, yang artinya pada satu Bitcoin yang sama tidak bisa digunakan lebih dari sekali atau double, ketika proses PoW telah tervalidasi dan telah tercatat di blockchain.
Proses menambang mata uang kripto membutuhkan sumber daya dari perangkat keras (hardware) berupa komputer dan kartu grafis (graphic card) yang menjalankan program perangkat lunak (software) untuk menyelesaikan perhitungan matematis tadi.
Selain perangkat tersebut, kebutuhan seperti ruangan dan pendingin ruangan juga diperlukan guna menjaga perangkat komputer dan kartu grafis tetap bekerja dengan optimal, dan untuk menjalankan itu semua memerlukan energi listrik yang tidak sedikit.
Masifnya penggunaan energi untuk mempertahankan sistem mata uang kripto yang berjalan mengharuskan adanya pertambahan jumlah energi yang dihasilkan. Hal ini ternyata telah memicu peningkatan produksi energi listrik seperti misalnya dari batu bara.
Kebangkitan perusahaan tambang batu bara misalnya terjadi di Amerika Serikat di mana salah satu pembangkit yang hampir bangkrut sejak ditutup, Hardin yang mengalami kerugian dari 2018 kembali mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya karena peningkatan kebutuhan energi bagi para penambang kripto.
Bahkan pada 2020, energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara ini hanya ditujukan untuk para penambang kripto. Dilansir dari The Guardian, Hardin merupakan bagian kecil dari hidupnya kembali pembangkit listrik tenaga batu bara karena adanya peningkatan penggunaan kripto dalam beberapa tahun terakhir.
Konsumsi Energi Listrik dalam Penambangan Kripto
Salah satu kelemahan dari mata uang kripto ialah penggunaan atau konsumsi energi listrik yang besar ketika menambang mata uang kripto itu sendiri. Hal tersebut merupakan efek samping dari aktivitas para penambang yang saling bersaing menjadi penambang pertama untuk memvalidasi transaksi melalui metode Proof-of-Work.
Hal ini dipengaruhi juga dengan meningkatnya tingkat kesulitan untuk menambahkan blok baru dan memvalidasi transaksi seiring dengan tingkat dari kepopuleran mata uang kripto. Faktor lainnya, bisa dilihat dari bagaimana Bitcoin menjaga agar tetap bernilai, Satoshi Nakamoto telah membatasi bahwa hanya akan ada 21 Juta jumlah Bitcoin yang beredar, itu semua akan selesai ditambang pada 2140.
Jumlah dari Bitcoin yang akan semakin sedikit untuk ditambang, nilainya yang cenderung naik setiap tahunnya dan mata uang kripto lainnya pun menerapkan prinsip yang sama. Sehingga, energi yang dibutuhkan oleh para miner baik dari jumlah perangkat komputer maupun pendingin dan listrik digunakan akan ikut meningkat.
Walaupun pada awalnya dalam menambang satu Bitcoin, energi yang diperlukan hanya sekitar 1.200 watt atau setara penggunaan pengering rambut atau microwave. Namun kemudian, dilansir dari laman University of Cambridge yang berjudul Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index, penelitian yang dilakukan dari Juli 2010 sampai dengan Desember 2021 dengan mengasumsikan penggunaan daya secara konstan selama terus menerus terlihat peningkatan yang sangat signifikan jumlah konsumsi listrik Bitcoin tiap tahunnya, walaupun adanya fluktuatif naik turun jumlah konsumsi per bulannya.
Tercatat, per 10 Desember 2021, transaksi Bitcoin menghabiskan sekitar 299,13 terawatt-hours (TWh). Angka tersebut lebih besar dengan Australia yang rata-rata per tahunnya hanya menghabiskan 247,6 TWh atau jika dibandingkan dengan negara seperti Thailand, Polandia dan Mesir yang hanya menghabiskan 200 TWh tiap tahunnya.
Perbandingan lainnya dengan sistem pembayaran lain seperti VISA (Visitors International Stay Admission) misalnya, mengonsumsi total 740.000 Gigajoule energi (dari berbagai sumber) secara global untuk semua operasinya. Ini berarti bahwa VISA memiliki kebutuhan energi yang setara dengan sekitar 19.304 rumah tangga AS.
VISA memproses 138,3 miliar transaksi pada tahun 2019 dengan bantuan angka-angka ini, dimungkinkan untuk membandingkan kedua jaringan dan menunjukkan bahwa Bitcoin sangat lebih intensif energi per transaksi daripada VISA. Bahkan satu transaksi Bitcoin hampir setara 1,5 juta VISA transaksi.
Konsumsi energi listrik dari penggunaan dan penambangan mata uang kripto juga berdampak kepada peningkatan jejak karbon sebab sebagian besar fasilitas penambangan di jaringan Bitcoin masih ditenagai oleh bahan bakar fosil.
Efisiensi Sistem Kripto
Dengan sistem yang masih dapat berkembang seperti misalnya dari Proof of Work menjadi Proof of Stake pada sistem blockchain, dapat memperkecil konsumsi dan energi yang dibutuhkan oleh sistem uang kripto untuk menjaga sistemnya tetap berjalan.
Hal ini misalnya disampaikan dalam kampanye “Change the Code not the Climate” yang dikoordinasikan oleh Greenpeace Amerika Serikat dan Environmental Working Group bahwa Bitcoin dan mata uang kripto perlu meningkatkan sistem dalam mata uang kripto untuk melakukan efisiensi sistem yang kemudian mengurangi konsumsi energi dalam berjalannya sistem.
Dilansir dari NBC News, peneliti dari Ethereum Foundation menyampaikan bahwa dengan menggunakan sistem proof of stake, energi yang digunakan dapat dikurangi hingga lebih rendah 99.99% dari menggunakan sistem proof of work.
Hal ini tentunya memberikan optimisme sendiri bagi yang mendukung kripto dan juga memberikan perhatian bagi lingkungan. Beberapa sistem mata uang kripto akan dan telah menggunakan sistem proof of stake semisal Ethereum dan juga Cardano.
Dilansir dari Forbes, Proof of Stake menghilangkan sistem elemen kompetisi komputasi dan menjadikan satu mesin hanya bekerja untuk menyelesaikan satu permasalahan koding dalam satu waktu. Hal ini berbeda dengan Proof of Work di mana banyak mesin komputer berusaha untuk menyelesaikan banyak transaksi dalam satu waktu yang tentunya membutuhkan banyak energi.
Menggunakan Energi Terbarukan
Dengan masifnya energi yang digunakan dalam sistem kripto, penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan menjadi penting dan krusial terutama untuk mendukung sistem transaksi dalam mata uang kripto yang semakin masif diadopsi oleh masyarakat. Hal ini misalnya sudah dilakukan di Kosta Rika yang memiliki surplus energi terbarukan.
Dilansir dari DW News, energi yang dibutuhkan untuk melakukan penambangan kripto diperoleh dari energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air. Meskipun demikian, Jose Daniel Lara, peneliti dari UC Berkeley menyampaikan bahwa Kosta Rika merupakan negara yang spesial karena telah mengalami surplus terhadap energi terbarukan dan logika terhadap penambangan kripto dengan energi terbarukan menjadi memungkinkan.
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang ingin mengadopsi penggunaan mata uang kripto untuk bukan hanya memperhatikan kemudahan dan keuntungan dari penggunaan mata uang kripto dan teknologi blockchain, namun juga harus memperhatikan sumber energi untuk mempertahankan sistem teknologi kripto tetap berjalan dengan baik.