Jakarta, 20 Oktober 2022 – Bunda Corla atau nama lengkapnya Cynthia Corla Pricillia menjadi perbincangan hangat di media sosial belakangan ini. Sosoknya kerap muncul dalam video Instagram live, dan beberapa akun media sosial lainnya seperti di Twitter dan Tiktok.
Bahkan di Twitter, namanya sempat menjadi trending topic yang paling sering dibicarakan.
Bunda Corla sendiri Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri, tepatnya di Jerman. Di mana ia menetap bersama keluarganya.
Wanita kelahiran Medan, Sumatera Utara, pada 9 September 1974 tersebut saat ini tinggal di Hamburg, Jerman. Tepatnya pada 1999, ketika krisis moneter di Indonesia, Bunda Corla pindah ke Jerman.
- Advertisement -
Jerman yang merupakan wilayah Eropa, merupakan salah satu negara yang gencar mengembangkan energi terbarukan. Melansir Deutshe Welle Indonesia, Menteri Ekonomi dan Wakil Kanselir Jerman Robert Habeck (Partai Hijau) pada 6 April 2022 lalu memperkenalkan paket kebijakan baru energi terbarukan yang disebutnya ‘Paket Paskah’ dari pemerintahan koalisi.
Di mana Pemerintah Jerman bermaksud melepaskan diri dari ketergantungan pada Rusia dengan sejumlah kebijakan baru yang sangat ambisius. “Inilah paket kebijakan energi yang komprehensif dan terbesar dalam dua dekade,” kata Robert Habeck ketika memperkenalkan paket kebijakan itu beserta rinciannya, seluruhnya setebal 600 halaman.
Robert menjelaskan, peta jalan yang disusun pemerintah Jerman ini akan merampingkan sejumlah undang-undang dan regulasi yang ada untuk ‘mengisi daya turbo’ perluasan sumber energi terbarukan ‘di laut, di darat, dan di atap (gedung)’.
Tokoh Partai Hijau itu menerangkan, pengesahan paket dan perluasan energi terbarukan sudah ‘sangat mendesak’ karena krisis iklim yang semakin memburuk, dan diperparah oleh invasi Rusia ke Ukraina yang juga menguak ketergantungan Jerman pada bahan bakar fosil, yang pada gilirannya ‘mengancam keamanan ekonomi Jerman’.
Rencana tersebut memperkirakan, Jerman akan memproduksi setidaknya 80% energinya dengan sumber terbarukan sampai tahun 2030, dengan pergeseran ke hampir 100% pada tahun 2035. Pada tahun 2020, Jerman memproduksi 41,1% energinya dengan energi terbarukan.
Julukan Ekonomi Energi Terbarukan Besar Pertama di Dunia
Mengutip lembaga bahasa Jerman, Sonne Sprachhaus mengemukakan Jerman disebut-sebut sebagai ‘ekonomi energi terbarukan besar pertama di dunia’. Sejak 1990-an, Jerman sudah mengembangkan energi terbarukan.
Dengan peralihan/transisi energi, sebagian besar penyediaan tenaga ditargetkan berupa energi terbarukan. Energi terbarukan yang utama di Jerman adalah tenaga matahari, angin, dan biomassa.
Disebutkan bahwa hingga 2014, Jerman memiliki kapasitas panel surya terbesar di dunia dan pada 2016 kapasitas panel surya Jerman merupakan yang terbesar ketiga, yaitu sebesar 40 GW (gigawatt). Jerman juga merupakan negara dengan kapasitas tenaga angin terbesar ketiga di dunia (50 GW) dan negara dengan kapasitas tenaga angin lepas pantai terbesar kedua (lebih dari 4 GW).
Transisi atau peralihan energi menjadi hal penting dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup di Jerman. Penggunaan energi tak terbarukan seperti minyak, batu bara, gas dan tenaga nuklir semakin ditinggalkan sembari meningkatkan pembangkitan energi terbarukan.
Adapun targetnya, paling lambat pada 2050 minimal 80 persen pengadaan listrik dan 60 persen penyediaan seluruh energi di Jerman akan berasal dari sumber energi terbarukan. Sebagai langkah penting, semua pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dihentikan secara bertahap hingga 2022.
Dengan langkah itu, Pemerintah Jerman melanjutkan perbaikan berkesinambungan dari sistem energi, yang telah dimulai pada 2000 dengan keputusan pertama untuk meninggalkan energi nuklir, serta dengan diberlakukannya Undang-Undang Energi Terbarukan (UUET) atau dalam bahasa Jerman disebut “Erneuerbare-Energien-Gesetz” (EEG).
Tidak hanya pada lingkungan hidup dan iklim, ekonomi Jerman juga diharapkan mendapat pengaruh positif dari kebijakan transisi energi ini khususnya dengan berkurangnya ketergantungan pada impor minyak dan gas bumi.
Pengeluaran Jerman untuk mengimpor batu bara, minyak dan gas bumi berjumlah sekitar 45 miliar Euro per tahun. Pada tahun-tahun mendatang, jumlah ini akan digantikan secara bertahap melalui pertambahan nilai hasil dalam negeri di bidang energi terbarukan.
Tindakan itu sekaligus akan membawa peluang ekspor tambahan dan tempat kerja baru. Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memperkokoh ‘pilar kedua’ dari transisi energi yaitu pemakaian energi yang lebih hemat dan lebih efisien.
Di bidang industri dan usaha besar, sudah ada penghematan berarti dengan standar yang tinggi. Hal yang masih ketinggalan adalah usaha menengah dan juga sektor bangunan publik. Masih diperlukan usaha keras sampai tercapainya target pemakaian listrik yang dirumuskan dalam konsep energi, yaitu reduksi sebesar sepuluh persen hingga 2020.
Selain usaha meminimalkan risiko, transisi energi bertujuan menghasilkan tenaga yang ramah iklim dan yang pengadaannya lebih terjamin. Pada 2014, Undang-Undang Energi Terbarukan (UUET) atau “Erneuerbare-Energien-Gesetz” (EEG) mengalami perubahan yang bertujuan untuk menjamin pengadaan listrik yang cukup dengan harga terjangkau bagi penduduk dan industri. Pada 2017, listrik ramah lingkungan mencapai 33,1 persen dari volume listrik.