Jakarta, 13 November 2022 (SAHITYA.ID) – Perubahan iklim berdampak pada banjir di Pakistan. Dalam KTT iklim PBB, negara itu mendesak agar mencairkan dana darurat untuk melakukan pembangunan kembali setelah didera banjir yang menghancurkan pada tahun ini.
Hal itu disampaikan Menteri Urusan Iklim Pakistan Sherry Rehman dalam wawancara kepada Reuters belum lama ini.
“Distopia telah datang ke hadapan kami,” kata Rehman di sela-sela KTT COP27 di Mesir.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”tags” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Rehman menyesalkan langkah diplomasi iklim yang sangat lambat. Sementara, kebutuhan negaranya yang berjuang untuk pulih dari banjir yang dipicu oleh faktor iklim, telah menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 30 miliar dolar AS atau sekitar Rp462,8 triliun.
“Kemajuan politik yang kami buat di sini akan memiliki arti yang sangat kecil di lapangan, kecuali ada transfer sumber daya yang mengubah cara orang menghadapi masa depan,” tuturnya.
Pakistan memainkan peran penting pada KTT COP27 di Mesir tahun ini. Negara tersebut menjabat sebagai salah satu dari dua ketua bersama yang diundang oleh tuan rumah konferensi Mesir. Negara lainnya adalah Norwegia.
Pakistan juga mewakili kelompok G77 yang terdiri dari negara-negara berkembang, mendorong penggandaan keuangan guna membantu negara-negara miskin beradaptasi dengan dampak iklim.
Sampai saat ini, hanya sekitar sepertiga dana iklim telah digunakan untuk proyek adaptasi, dan jumlah penuh yang dijanjikan – 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1,54 kuadriliun) per tahun – tidak pernah dibayarkan secara penuh.
Pada tahun lalu, dana yang ditransfer hanya lebih dari 80 miliar dolar AS (sekitar Rp1,23 kuadriliun).
Pakistan merupakan negara kunci untuk memasukkan isu ‘kerugian dan kerusakan’ cukup pelik dalam agenda resmi KTT PBB, sebuah kudeta diplomatik setelah beberapa dekade perlawanan dari negara-negara kaya.
Langkah tersebut membuka pintu perundingan guna mengatasi tuntutan negara-negara yang rentan untuk diberi kompensasi ketika negara-negara tersebut dilanda bencana yang dipicu perubahan iklim.
Namun, kemajuan bertahap yang dibuat dalam diskusi tersebut, yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun masih belum cukup bagi warga Pakistan untuk menganggap perundingan itu sebagai sebuah kemenangan.
“Jika saya mengatakan ‘baiklah, adaptasi sekarang telah diprioritaskan’ … atau ‘ada alokasi 50-50 dalam hal prioritas antara mitigasi-adaptasi’, itu tidak akan berarti banyak bagi seseorang yang rumahnya telah terbakar akibat kebakaran hutan atau seseorang yang kehilangan anggota keluarga dalam banjir,” tuturnya.
Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif menyerukan kepada negara-negara kaya untuk menawarkan kompensasi dan keringanan utang guna membantu menutupi upaya negaranya untuk membangun kembali dan melindungi negara itu dari dampak iklim yang lebih parah.
Diketahui, banjir di Pakistan pada September melanda sebagian besar negara itu memengaruhi sekitar 33 juta warga dan menyebabkan ratusan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggal.
Rehman mengatakan, setiap dana baru yang dijanjikan baik untuk kerugian dan kerusakan atau untuk kebutuhan adaptasi perlu ditindaklanjuti dengan kecepatan dan kelincahan. Karena negara-negara seperti Pakistan tidak punya waktu untuk disia-siakan.
Dia mengatakan pihaknya mendukung seruan dari AS, Inggris dan negara-negara lain untuk merombak lembaga keuangan internasional agar lebih baik lagi dalam merespons bencana yang diperkirakan karena atmosfer terus menghangat.
“Ada pengakuan (di COP27) bahwa kita tengah menghadapi iklim normal baru bagi dunia,” katanya.
“Tapi masih belum ada pengakuan bahwa sistem keuangan yang telah berjalan di dunia… tidak akan mampu menyelamatkan jutaan orang yang sekarat dan membutuhkan,” ujar Rehman menambahkan.