Jakarta, 18 Oktober 2022 – Transisi energi kini tengah menjadi perbincangan yang begitu hangat. Bahkan sustainable energy transition atau transisi energi berkelanjutan menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022.
Indonesia resmi menginisiasi dan meluncurkan Transisi Energi G20 guna menjembatani dan mendorong negara-negara maju, serta negara-negara berkembang agar mempercepat peralihan energi fosil ke energi bersih.
Program Transisi Energi bersih ini dibuat dalam satu sistem energi global yang terus menerus berkelanjutan. Transisi Energi G20 tentunya menjadi daya ungkit untuk memperkuat sistem energi global berkelanjutan tersebut.
Transisi energi adalah jalan menuju transformasi sektor energi global dari berbasis fosil menjadi nol-karbon pada paruh kedua abad ini.
- Advertisement -
Transisi energi mengacu pada pergeseran sektor energi global dari sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil yang meliputi minyak, gas alam, dan batu bara ke sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, serta baterai lithium-ion.
Meningkatnya penetrasi energi terbarukan ke dalam bauran pasokan energi, dimulainya elektrifikasi, dan peningkatan penyimpanan energi merupakan pendorong utama transisi energi.
Regulasi dan komitmen terhadap dekarbonisasi bercampur aduk, tetapi transisi energi akan terus menjadi semakin penting karena investor memprioritaskan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Secara historis, transisi energi bukanlah hal baru. Di masa lalu kita telah melihat perubahan besar yang menandai zaman seperti transisi dari penggunaan kayu ke penggunaan batu bara di abad ke -20.
Namun yang membedakan transisi ini dari pendahulunya adalah urgensi untuk melindungi planet ini dari ancaman terbesar yang pernah dihadapinya, dan melakukannya secepat mungkin.
Dorongan ini telah mempercepat perubahan di sektor energi: hanya dalam satu dekade (2010-2019) biaya teknologi terbarukan telah turun sebesar 80% dalam kasus transisi energi, bagaimanapun, tidak hanya terbatas pada penutupan bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara dan pengembangan energi bersih.
Mengingat pengembangan sumber daya energi terbarukan berisiko cukup tinggi dengan prospek profit yang cenderung jangka-panjang, maka pembuatan kebijakan terkait energi masa depan perlu melibatkan sektor pelaku usaha dan sektor pembiayaan. Dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan, Pemerintah Indonesia dapat mempersiapkan aspek pembiayaan dengan melibatkan perbankan, peningkatan investasi asing, dan sumber-sumber pendanaan lainnya.
Selain itu, aspek institusi dan kelembagaan dalam pengelolaan kebijakan energi perlu mendapat perhatian seksama. Sinergi antar lembaga pembuat kebijakan, produsen, dan konsumen energi perlu untuk terus disempurnakan guna memastikan efektivitas proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang berdampak pada realita dan kondisi di lapangan.
Hasil analisis yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) memperlihatkan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan mengendalikan pengembangan energi fosil. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (roadmap) transisi energi nasional yang memiliki kekuatan sehingga mengikat bagi semua dokumen pemanfaatan dan alokasi semua jenis sumber energi.
Di dalam Inter-Parliamentary Union (IPU) disebutkan, parlemen bersama pemerintah memiliki peran penting membangun peta jalan transisi ekonomi rendah karbon melalui akselerasi energi terbarukan serta mengawasi implementasinya.
Transisi energi merupakan proses yang akan berlangsung selama beberapa tahun ke depan secara berkelanjutan. Indonesia perlu untuk terus memantau dan menindaklanjuti perkembangan isu strategis ini, dan mengukuhkan peran Indonesia dalam transisi energi baik di kawasan maupun dunia internasional.
Dunia kini mulai bertransisi menuju penggunaan energi terbarukan sebagai pemenuhan kebutuhan energi. Hal ini dilakukan untuk mencapai target Paris Agreement yang telah ditandatangani oleh berbagai negara (termasuk Indonesia) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sehingga dapat membatasi pemanasan global hingga dibawah 2 – 1,5oC.
Transisi energi menuju energi terbarukan merupakan keniscayaan untuk mendukung target tersebut karena emisinya yang jauh lebih kecil daripada energi fosil. Namun, tata kelola yang baik masih tetap perlu diberlakukan untuk memastikan bahwa energi terbarukan ini kelola dengan memperhatikan aspek-aspek berkelanjutan yang meliputi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pemerintah Indonesia berusaha untuk melakukan transisi energi yang lebih adil dan terjangkau sebagai bagian dari prioritas nasional untuk mencapai pertumbuhan emisi nol di 2060.
Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional memiliki target untuk bauran energi nasional. Dalam bauran energi nasional tersebut, Indonesia memiliki target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 23% pada tahun 2025, dan 31% pada tahun 2050.
Per 2021, realisasi bauran energi baru dan terbarukan baru mencapai 13,55%, masih terdapat selisih 10% untuk mencapai target pada 2025 mendatang.
Namun, pertanyaannya adalah selama masa transisi ke EBT, apakah Indonesia bisa lepas dari energi fosil begitu saja?
Patut diketahui hampir semua kebutuhan energi bus listrik, MRT, LRT, mobil/sepeda motor listrik seluruhnya bersumber dari PLN. Sedangkan untuk sumber bahan bakar PLN sendiri sampai dengan November 2021 masih menggunakan non EBT sebanyak 87,4 persen, bahkan kalau dirinci lebih detail lagi kontribusi batubara masih tertinggi yakni 50,4 persen, kedua panas bumi 19,2 persen, gas 10,7 persen dan diesel (solar) 7,1 persen.
Dengan demikian ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ke depan masih sangat besar. Untuk itu, pada masa transisi ke penggunaan EBT ini, bahan bakar ramah lingkungan agaknya menjadi jawaban, salah satunya gas.
Mengingat kebutuhan energi minyak dan gas bumi (migas) masih tinggi di Indonesia maka di sini dituntut peningkatan daya saing. Hal itu agar pelaku di sektor migas bisa meningkatkan aktivitasnya di dalam negeri yang pada akhirnya mampu memenuhi produksi di dalam negeri.
Oleh karena itu, dibutuhkan kombinasi dalam pengendalian atau penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara dan secara bersamaan, melakukan pengembangan energi terbarukan. Penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara adalah salah satu upaya penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon dan ETM dapat membantu proses ini.