Jakarta, 8 November 2022 (SAHITYA.ID) – Era kendaraan listrik di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu saja. Terkini, perkembangan kendaraan listrik mulai bergeliat di Tanah Air.
Perkembangan kendaraan listrik terus mengalami peningkatan di Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan elektronik yang semula tidak bermain di industri kendaraan listrik kini mulai mencapkan benderanya.
Sebut saja, Polytron, yang kini mulai memproduksi dan memasarkan sepeda motor listrik di Indonesia. Perusahaan yang semula dikenal dengan produk elektronik seperti televisi hingga kulkas, kini ikutan meramaikan bursa kendaraan listrik, dengan meluncurkan sepeda motor Evo, Fox-R dan dan t-rex.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”categories” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan RI, hingga Juli 2022, populasi motor listrik di Indonesia mencapai angka 19.698 unit. Jumlah itu diprediksi akan terus bertambah seiring regulasi pemerintah yang terus menggenjot penggunaan energi terbarukan di segala sektor termasuk industri kendaraan listrik.
Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Profesor Ayi Bahtiar mengungkapkan energi surya menjadi solusi alternatig dalam mendukung era kendaraan listrik di Tanah Air. Menurutnya, panel surya bisa digunakan sebagai penyedia daya listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Menurutnya, kendala yang kini dihadapi adalah ketersediaan SPKLU. Makanya, ia menyebut pengadaan SPKLU perlu diperbanyak dengan sistem pengisian daya cepat alias fast charging.
“Terbayang kalau SPBU isi bensin itu 2-3 menit, kalau ini harus berjam-jam. Artinya bahwa nanti akan numpuk di tempat pengisian baterai,” kata Ayi dikutip dari laman resmi Unpad.
Namun, masalah baru akan datang, saat infrastruktur pendukung kendaraan listrik rampung dibangun semisal SPKLU. Keberadaan SPKLU tentu membutuhkan asupan daya listrik yang besar.
Sementara, saat ini penyediaan listrik di Indonesia masih bergantung pada PLTU yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara. Apabila penggunaan batu bara dan minyak bumi terus digenjot maka cadangan fosil nasional akan berkurang dan berdampak pada tingginya tarif listrik.
Solusinya, kata dia, perlu adanya energi alternatif seperti panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik di sektor industri EV. Selain lebih ramah lingkungan, penggunaan panel surya tentu tidak terbatas aias termasuk dalam energi terbarukan.
Ia menjelaskan, panel surya yang digunakan di pasaran terdiri dari dua jenis, yakni silikon polikristal dan silikon monokristal. Silikon polikristal memiliki harga cukup murah, tetapi menghasilkan efisiensi konversi yang rendah, sekitar 11 – 15 persen yang berefek pada pengisian baterai menjadi lama.
Sementara silikon polikristal memiliki efisiensi konversi lebih tinggi, di atas 25 persen. Namun, material ini memiliki harga lebih mahal dibandingkan silikon monokristal. “Oleh karena itu, riset sekarang banyak difokuskan untuk meningkatkan efisiensi konversi tapi harganya lebih murah,” katanya.
Di luar tantangan tersebut, penyediaan SPKLU berbasis panel surya mampu membuka peluang bisnis. Ia mengatakan stasiun pengisian dapat diintegrasikan dengan aktivitas bisnis. “Nanti bisa ada kafe atau lokasi wisata yang menyediakan stasiun pengisian baterai,” kata dia.