Jakarta, 21 Oktober 2022 – Riset terkait hidrogen hijau terus dikembangkan di Tanah Air. Target nol emisi karbon pada 2060 diharapkan bisa dikejar Indonesia. Salah satu peneliti yang fokus melakukan riset terkait green hydrogen yakni Eniya Listiani Dewi.
Peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) itu mengembangkan hidrogen hijau yang memiliki emisi karbon jauh lebih rendah dibandingkan hidrogen yang dihasilkan dari energi gas alam ataupun batu bara. Penggunaan hidrogen hijau selaras dengan target nol emisi karbon yang diusung Indonesia.
“Kita ingin membuktikan bahwa hidrogen yang berasal dari photovoltaic dari angin melalui proses elektrolisa juga bisa digunakan sebagai bahan bakar,” kata Eniya mengutip laman Puspitek BRIN.
Eniya memanfaatkan limbah panel surya, di mana fotovoltaik yang digunakan memanfaatkan turbin angin yang ditampung oleh baterai kemudian menghasilkan proses elektroisa air. Setelahnya, proses elektrolisa itu menghasilkan hydrogen dan oksigen.
- Advertisement -
Setelahnya, hidrogen yang dihasilkan dijadikan bahan baku energi sel tunam alias fuel cell hingga menghasilkan bahan bakar listrik dengan air sebagai limbahnya. Secara sederhana, hidrogen yang dihasilkan fotovoltaik, dimasukkan ke proses elektrokimia.
Proses elektrolisa, kata dia, dibutuhkan 4 liter air untuk memperoleh 1 kilogram hidrogen. Eniya bersama timnya, tengah melakukan efisiensi dan optimalisasi dengan mengembangkan Proton Exchange Meter Elektrolizer, menggantikan sistem Proton Exchange Mebrane (PEM) yang dikembangkan sebelumnya. “Satu kg gas hidrogen didalam tabung bisa menempuh jarak 100 km” katanya.
Eniya mengilustrasikan bagaimana hidrogen bisa dikonversi menjadi listrik lantas menggerakan mesin sebuah kendaraan. Bermula dari fuel cell yang berfungsi mengkonversi hidrogen menjadi energi listrik.
Hidrogen dan oksigen masuk ke dalam fuel cell, lantas dibentengi oleh membran elektrolit. hidrogen masuk ke masuk ke bagian arus anoda (-) dan oksigen mengisi arus katoda (+). Singkatnya, proses kimia pun terjadi dan menghasilkan arus listrik yang kemudian dijadikan energi untuk menjalankan mesin pada kendaraan listrik.
Penelitian Eniya, masih belum maksimal. Pasalnya, dari satu kilogram hidrogen yang dihasilkannya hanya mampu menempuh jarak sekitar 20 kilometer saja. Padahal, hidrogen yang sudah dijual di pasaran mampu menempuh jarak hingga 100 kilometer. Alhasil, ia bersama tim penelitinya terus mengembangkan riset hidrogennya agar bisa lulus uji spesifikasi.
Fuel cell yang telah dikembangkan pada tahun 2004 telah dipasang dan diuji coba pada motor fuel cell sebesar 500 watt dan hingga saat ini masih berfungsi dengan baik. Namun pada teorinya ketahanan fuel cell itu sendiri tergantung pada performa katalis dan membranenya sehingga mampu bertahan sampai dengan 40 tahun. “Selama hidrogen itu masuk terus menerus, dia akan menghasilkan listrik” ucapnya.
Untuk saat ini, riset terkait hidrogen masih dalam tahapan proof of concept dan berikutnya ingin beralih ke proof of commercial availability sehingga purwa rupa hidrogen bisa diproduksi massal. Satu tantangan untuk Eniya dan tim adalah untuk bisa bergabung dengan industri. Eniya sangat terbuka dengan siapapun untuk dapat bisa membuat fuel cell di Indonesia.
Pasalnya, fuel cell merupakan jantung dari kendaraan hydrogen dan juga proses elektrolisa. Eniya berharap di masa yang akan datang Indonesia dapat mengaplikasikan photovoltaic secara luas.