Jakarta, 11 November 2022 (SAHITYA.ID) – Kabar tak sedap datang dari Benua Biru. Ilmuan yang meneliti tentang perubahan iklim telah menemukan Eropa mengalami peningkatan suhu lebih dari dua kali rata-rata global.
Tingkat kenaikan suhu panas ini disebut yang tertinggi dari benua mana pun di dunia. Tim peneliti perubahan iklim mengingatkan dampak dari kenaikan suhu itu seperti adanya gelombang panas yang lebih sering, kebakaran hutan hingga bencana akibat cuaca ekstream lainnya.
Berdasarkan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), yang berkolaborasi dengan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, menemukan suhu di Eropa antara 1991 hingga 2021, mengalami peningkatan signifikan dengan rata-rata peningkatan sekitar 0,5 derajat celsius per 10 tahun atau satu dekade.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”categories” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Sebagai perbandingan, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)–organisasi antar pemerintahan yang melakukan penelitian tentang perubahan iklim–menempatkan peningkatan rata-rata global pada 0,2 derajat celsius per dekade. Artinya kenaikan suhu di Eropa dua kali lebih besar dari rata-rata peningkatan suhu global.
Tim peneliti menyebutkna peristiwa cuaca dan iklim ekstream berdampak langsung pada lebih dari setengah juta orang di wilayah tersebut pada tahun 2021, menyebabkan ratusan kematian dan kerusakan ekonomi lebih dari 50 miliar dolar AS.
“Eropa menyajikan gambaran langsung tentang dunia yang memanas dan mengingatkan kita bahwa masyarakat yang siap sekalipun tidak aman dari dampak peristiwa cuaca ekstrem,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Profesor Petteri Taalas, melansir New Atlas.
“Tahun ini, seperti tahun 2021, sebagian besar Eropa telah dipengaruhi oleh gelombang panas dan kekeringan yang ekstensif, memicu kebakaran hutan. Pada tahun 2021, banjir yang luar biasa menyebabkan kematian dan kehancuran,” bebernya.
Meski begitu, tim peneliti mencatat Uni Eropa berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31% antara tahun 1990 dan 2020. Petteri Taalas pun mengatakan Eropa adalah pemimpin dunia dalam sistem peringatan dini untuk melindungi penduduknya dari dampak terburuk perubahan iklim.
“Di sisi mitigasi, langkah yang baik dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di kawasan harus terus berlanjut dan ambisi harus lebih ditingkatkan. Eropa dapat memainkan peran kunci untuk mencapai masyarakat netral karbon pada pertengahan abad ini untuk memenuhi Perjanjian Paris.” katanya.
Berdasarkan laporan itu, di antara konsekuensi dari peningkatan suhu tersebut adalah penipisan gletser Alpine di Eropa, yang menurut penulis kehilangan ketebalan 30 m (98 kaki) antara 1997 dan 2021, dan percepatan pencairan lapisan es Greenland yang sedang berlangsung.
Awal tahun ini, tampak pula Kantor Met Inggris mengeluarkan “Peringatan Merah” pertama untuk panas yang luar biasa karena suhu melebihi 40 derajat celsius untuk pertama kalinya dalam catatan sejarah.
“Masyarakat Eropa rentan terhadap variabilitas dan perubahan iklim, tetapi Eropa juga berada di garis depan dalam upaya internasional untuk mengurangi perubahan iklim dan mengembangkan solusi inovatif untuk beradaptasi dengan iklim baru yang harus dihadapi orang Eropa,” kata Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, Dr. Carlo Buontempo.
“Ketika risiko dan dampak perubahan iklim menjadi semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan dan selera tumbuh untuk kecerdasan iklim, dan memang demikian. Dengan laporan ini, kami bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara data dan analisis untuk memberikan informasi berbasis sains tetapi dapat diakses yang ‘siap mengambil keputusan’, lintas sektor, lintas profesi,” tutupnya.