Jakarta, 20 Oktober 2022 – Para pemimpin Uni Eropa melakukan pertemuan di ibu kota Belgia, Brussel, pekan ini, guna mencari solusi untuk mengatasi krisis energi yang menggerogoti Uni Eropa sejak setahun yang lalu.
Lonjakan tajam harga energi–ditentukan harga minyak mentah, gas alam dan batu bara–terjadi sejak tahun lalu sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Bukannya semakin terkenali, lagi-lagi blok Uni Eropa semakin tragis karena terkena imbas invasi RUsia ke Ukraina, pada awal 2022.
“Perang Rusia terhadap Ukraina memiliki konsekuensi parah pada pasar energi global dan Eropa,” kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada konferensi pers di kota Strasbourg, Prancis, Selasa, 18 Oktober 2022, mengutip dari Aljazeera.
Sebelum Rusia melakukan ivasi ke Ukraini, 40 persen gas yang digunakan di Uni Eropa dipasok dari Rusia. Namun, pada Juli 2022, karena perang yang dikobarkan Moskow ke Ukraina, maka blok Uni Eropa memutuskan untuk memotong menggunaan gas Rusia sebesar 15 persen. Hal itu dilakukan sebagai upaya agar tak ketergantukan kepada pasokan gas dari Rusia.
- Advertisement -
Balasan pun datang dari Rusia, di mana Kremlin memotong pasokan gas ke Uni Eropa di mana Gaszprom–gas raksasa milik Rusia–mengumumkan pipa Nord Stream 1 (NS1), yang mengaliri gas ke negara-negara blok Uni Eropa ditutup dengan alasan adanya pekerjaan pemeliharaan tanpa batas waktu.
Pengurus senior di Dana Marshall Jerman Amerika Serikat, Jacob Dunk Kirkegaard, menyebutakan tindakan Rusia tersebut bisa membahayakan negara-negara Uni Eropa, karena bisa berdampak pada krisis energi dalam jangka pendek.
“Tetapi dalam jangka menengah dan panjang, itu akan sangat mempercepat agenda hijau UE, membantu transisi blok untuk menggunakan lebih banyak energi surya, angin dan nuklir, dan juga menjadi independen dari Rusia, OPEC [kartel global negara-negara penghasil bensin] atau produsen bahan bakar fosil lainnya,” kata dia.
Riak-riak krisis mulai tampak di mana protes terjadi di seluruh Uni Eropa. Aksi demonstrasi menyerukan agar Uni Eropa segera menemukan solusi berkelanjutan terkait krisis energi yang sudah semakin dekat. Gelombang protes tersebut dipicu saat harga gas Eropa mencapai rekor tertinggi lebih dari 343 euro per megawatt-jam pada akhir Agustus 2022.
“Ada trade-off antara perdamaian sosial, permintaan energi dan biaya fiskal yang harus ditemukan oleh setiap pemerintah sesuai dengan keadaan mereka sendiri,” ujar Kirkegaard.
“Mengingat dampak negatif kenaikan harga energi terhadap standar hidup dan daya beli, cukup dapat diprediksi bahwa protes akan terjadi,” tambahnya.
Negara-negara Uni Eropa meliputi Belgia, Italia, Yunani, dan Polandia tampak tertarik untuk menetapkan batasan harga gas. Namun, Jerman dan Belanda justru mengkhawatirkan pembatasan harga akan melumpuhkan pasar pasokan gas.
Presiden Dewan Eropa, Charles Michel meminta 27 pemimpin Uni Eropa agar tercapai strategi terpadu pada batas harga dengan fokus pada aspek mengurangi permintaan, ,memastikan keamanan pasokan dan menahan harga.
Rencananya, para pemimpin negara-negara Uni Eropa akan melakukan pertemuan di Brussel pada 20 dan 21 Oktober 2022dan juga membahas apakah skema batas harga yang diperkenalkan oleh negara-negara Iberia, Spanyol dan Portugal selama musim panas, dapat diperkenalkan di tingkat pan-Eropa.
Komisaris Eropa untuk Energi Kadri Simson mengatakan bahwa “model Iberia” dapat berguna, tetapi mengatakan kepada wartawan di Strasbourg pada hari Selasa bahwa Komisi Eropa tidak akan mendukung pembatasan harga. Dia mengatakan itu akan menyebabkan peningkatan permintaan gas, mendorong harga untuk naik sekali lagi.
Sementara itu, untuk mendukung warga dan bisnis yang terkena dampak harga energi yang tinggi, Komisi Eropa telah mengusulkan untuk mengalokasikan dana senilai hampir 40 miliar euro ($39 miliar) dari anggaran blok tersebut.
“Kami semua akan memperkenalkan mekanisme sementara untuk membatasi harga yang berlebihan musim dingin ini, sementara kami mengembangkan patokan baru sehingga gas alam cair (LNG) akan diperdagangkan dengan harga yang lebih adil,” kata von der Leyen kepada wartawan di Strasbourg.
Untuk memastikan harga pada akhirnya stabil, komisi juga meminta negara-negara UE untuk bersama-sama membeli setidaknya 15 persen dari volume gas yang dibutuhkan untuk memenuhi target penyimpanan gas masing-masing.
Aspek penetapan batas harga jual-beli gas di Title Transfer Facility (TTF) – pusat gas Belanda yang menjadi landasan perdagangan gas di Eropa, dalam rangka menurunkan harga gas, juga diusulkan. Namun komisi menambahkan, pembatasan harga ini tidak akan mengganggu permintaan dan pasokan gas. Usulan ini akan dibahas oleh para pemimpin Uni Eropa akhir pekan ini.
Transisi ke sumber energi baru
Sementara itu, sejumlah aktivis lingkungan khawatir bahwa solusi Uni Eropa untuk mengatasi krisis energi dalam menghadapi perang yang meningkat akan semakin merusak lingkungan.
“Peningkatan target energi akan membantu menurunkan ketergantungan kita pada gas fosil Rusia, meningkatkan keamanan energi negara-negara anggota – melindungi rumah, komunitas, dan bisnis dari melonjaknya tagihan energi serta memburuknya dampak krisis iklim, untuk musim dingin dan musim panas yang aman,” bunyi sebuah surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Republik Ceko Petr Fiala, yang negaranya saat ini menjabat sebagai presiden Dewan Uni Eropa.
Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa, Frans Timmermans menyebutkan Uni Eropa akan fokus pada transisi ke sumber energi terbarukan dan meminta negara-negara Uni Eropa “untuk mempertimbangkan cara untuk mendanai investasi tambahan dalam transisi energi hijau Eropa”.
Pada medio Oktober 2022, Yunani melakukan uji coba dengan menyalakan listrik hanya menggunakan sumber energi terbarukan seperti energi matahari dan angin selama lima jam. Berdasarkan keterangan Operator Transmisi Tenaga Independen negara itu, pada pukul 9 pagi waktu setempat (06:00 GMT), rekor tertinggi 3.106 megawatt jam listrik dihasilkan.
Nikos Mantzaris, seorang analis kebijakan senior di think-tank Green Tank yang berbasis di Athena, mengatakan contoh Yunani dapat berfungsi sebagai model untuk negara-negara yang dilanda batu bara seperti Polandia, Republik Ceko dan Bulgaria.
“Uni Eropa juga harus beralih dari mensubsidi konsumsi listrik dan gas fosil menuju mensubsidi penghematan energi serta proyek-proyek, yang akan menurunkan jejak karbon secara permanen,” bebernya.
Kirkegaard mengatakan hal yang sama di mana ia menyoroti bahwa Uni Eropa dapat belajar dari masa lalu. “Pada tahun 1973 juga terjadi lonjakan harga energi karena kejutan minyak. Pelajaran utama dari pengalaman itu adalah Anda perlu mengurangi permintaan dan Anda perlu beralih ke sumber energi baru, ” tutupnya.