Jakarta, 17 Oktober 2022 – Berikut ini merupakan sejarah singkat awal mula pengembangan pembangkit listrik tenaga air berskala kecil (PLTA run off river).
Energi baru terbarukan (EBT), masih hangat untuk diperbincangkan. Pasalnya melalui renewable energy ini, bisa meminimalisir penggunaan energi yang bersumber dari fosil ditambah EBT dinilai lebih ramah lingkungan.
Pembangkit listrik tenaga air skala kecil atau yang lebih akrab didengar dengan istilah pembangkit listrik tenaga air mini-mikro hidro (PLTMH), sudah dikembangkan sejak zaman kolonial Belanda di awal abad ke-20.
Semula, pengembanagn PLTMH ini dilakukan di kawasan perkebunan teh di Pulau Jawa. Alasannya, curah hujan yang cukup tingga di dataran tinggi tempat perkebunan teh terhampar.
- Advertisement -
Berdasarkan catatan jurnal Kementrian ESDM (2016), dataran tinggi Jawa Barat, khususnya di wilayah Priangan, dan pabrik-pabrik teh di ketinggian antara 800 hingga 1500 Mdpl, memiliki curah hujan yang cukup tingga, mencapai 3000 mm per tahun.
Kala itu, PLTMH dipilih menjadi pembangkit listrik yang paling menguntungkan dan minim biaya karena memanfaatkan air hujan sebagai sumber energi penghasil listrik.
Pada 1925, sudah ada sekitar 400 PLTMH dengan total kapasitas listrik mencapai 12,5 megawatt. Adapun daya keluaran antara 30 hingga 150 kilowatt.
Seiring berkembangnya teknologi di barat, dengan lahirnya teknologi turbin dan maraknya produksi generator di Eropa dan Amerika, akhirnya daya yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air bisa didongkrak ke angka 200 kW, dengan tegangan transmisi mencapai 5 kV. Turbin itu sukses dibangun di Jawa.
Alhasil, pembangunan PLTMH dapat dilakukan terpisah dari pabrik pengolahan teh. Berdasarkan keadaan perkebunan-perkebunan teh sekarang ini, dapat disimpulkan tenaga mikrohidro menjadi sumber energi penting bagi keberlangsungan industri teh, dan menjadi alternatif termurah untuk urusan setrum.
Tercatat 10 dari sekitar 70 pabrik teh di Jawa Barat masih konsisten menggunakan tenaga pembangkit yang sudah tua dengan kapasitas mencapai 1100 kW. PLTMH tersebut masih menjadi sumber listrik utama yang menggerakkan kebutuhan penerangan hingga urusan produksi pengolahan teh. Selain itu, beberapa pembangkit listrik digunakan untuk menerangi perkampungan para pemetik teh.
Berkaca dari paparan di atas, sebetulnya potensi setrum dari tenaga air skala minihidro merupakan peluang yang besar. Selain melimpahnya bahan baku,urusan teknologi PLTM dalam negeri pun cukup berkembang pesat. Alhasil, PLTM bisa dijadikan sebagai alternatif energi penghasil setrum yang layak dikedepankan.
Pada periode 1980 hingga pertengahan 2000, sudah terdapat lebih dari 100 PLTMH yang usai dibangun di Indonesia. Pendanaannya sebagian besar dari pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, ada pula bantuan dari luar negeri, LSM juga swasta.