Jakarta, 25 Oktober 2022 – Pemotongan pasokan minyak oleh produsen minyak utama ditambah pengetatan pasargas alam cair (LNG) di seluruh dunia membuat krisis energi global benar-benar terjadi. Hal itu diungkapkan Kepala Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol, saat berbicara pada Pekan Energi Internasional di Singapura, Selasa, 25 Oktober 2022.
Birol mengatakan adanya peningkatan impor LNG ke Eropa di tengah krisis Ukraina akibat serangan Rusia, ditambah kemungkinan potensi rebound selera Cina untuk bahan bakar kemungkinan memperketat pasar karena kapasitas LNG baru yang akan datang ke pasar pada 2023, hanya di kisaran 20 miliar meter kubik.
Di saat bersamaan, lanjut Birol, keputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan koleganya yang dikenal dengan OPEC+ dengan memangkas produksi 2 juta barel per hari (bph) merupakan keputusan yang sangat beresiko. Pasalnya IEA, kata Birol, melihat permintaan minyak global yang mengalami pertumbuhan mendekati 2 juta barel per hari.
“(Ini) sangat berisiko karena beberapa ekonomi di seluruh dunia berada di ambang resesi, jika kita berbicara tentang resesi global. Saya menemukan keputusan ini sangat disayangkan,” kata Birol dikutip dari Reuters.
- Advertisement -
Menurutnya, meski resesi sudah di depan mata, tapi kriris energi saat ini bisa menjadi titik balik dalam sejarah energi untuk berupaya mempercepat transisi energi dengan mengebut penggunaan energi bersih dan membentuk sistem energi yang berkelanjutan juga aman.
“Keamanan energi adalah pendorong nomor satu (transisi energi),” kata Birol, saat negara-negara melihat teknologi energi baru dan terbarukan sebagai solusi.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat melepas 15 juta barel minyak yang bersumber dari cadangan strategisnya pada pekan kemarin. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mengatakan hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menyeimbangkan harga minyak di pasar internasional.
Biden menuding, aturan yang dibuat OPEC+ guna memangkas produksi dua juta barel per hari ditenggarai karena ketundukan Arab Saudi dan sekutunya kepada Rusia. Namun, Pemerintah Arab Saudi menepis tudingan itu dan menganggap ucapan Biden sangat tak berdasar.