Jakarta, 23 Oktober 2022 – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu hal terpenting dalam proses transisi energi. Energi listrik yang dihasilkan dari konversi sinar matahari dianggap menjadi energi bersih dan bisa menggantikan energi listrik yang selama ini mayoritas didapat dari pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara.
Dalam sistem panel surya, pengubahan cahaya matahari menjadi energi listrik ditopang oleh teknologi fotovoltaik. Berkat adanya fotovoltaik, proses konversi radiasi matahari menjadi energi listrik terjadi. Setelahnya, energi listrik yang dihasilkan oleh fotovoltaik ditransfer ke baterai. Saat sudah tersimpan di baterai, maka daya listrik bisa digunakan untuk kebutuhan listrik sehari-hari.
Namun, teknologi fotovoltaik sebetulnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada serangkaian proses yang cukup rumit hingga teknologi ini ditemukan dan kemudian dikembangkan hingga kini menjadi jantung dari panel surya.
Fotovoltaik merupakan sebuah sistem yang mampu mengubah sinar matahari menjadi energi listrik. Bukan panas matahari yang dikonversi menjadi energi listrik, melainkan sinar matahari yang ditangkap fotovoltaik kemudian berinteraksi dengan bahan semikonduktor dan akhirnya menghasilkan energi listrik.
- Advertisement -
Energi Listrik merupakan aliran elektron. Sistem fotovoltaik bertugas memaksimalkan pelepasan elektron dari atom yang terdapat dalam sinar matahari. Umumnya, energi harus disuplai untuk memindahkan elektron menjauh dari atom. Elektron yang berada di kulit terluar atom (valensi) memiliki tingkat energi tertinggi dari elektron. Namun, masih terikat pada atom induknya. Alhasil, diperlukan energi tambahan untuk melepaskan elektron sepenuhnya dari atom. Secara sederhana, elektron valensi perlu dilepaskan dari inti atom sehingga menjadi elektron bebas.
Setiap elektron yang bergerak ke pita konduksi tentu meninggalkan tempat kosong dalam ikatan valensi. Proses tersebut disebut dengan istilah generasi pasangan elektron lubang. Secara sederhana, elektron yang bergerak meninggalkan tempat kosong itu kemudian akan diisi kembali oleh elektron baru yang berhasil dikonversi dari sinar matahari.
Adanya elektron dan pembentukan lubang oleh cahaya merupakan proses sentral dalam keseluruhan efek fotovoltaik. Namun untuk menangkap elektron dan lubang hingga menghasilkan arus listrik, diperlukan mekanisme lain, yakni dua wafer tipis silikon yang diapit bersamaan dan dilekatkan pada kabel logam. Wafer tersebut berada pada sel fotovoltaik.
Bahan baku sel sistem fotovoltaik yakni kuarsa (pasir). Kuarsa merupakan mineral yang bisa didapat dengan mudah. Kuarsa ini terdiri dari silikon dioksida (SiO2) dengan pecahan kecil seperti lithium, natrium, kalium dan titanium.
Sejarah singkat pengembangan sistem fotovoltaik
Panel surya tercatat mulai dikembangkan sejak abad ke-18, tepatnya pada 1839. Ahli fisika asal Prancis, Alexandre Edmond Bacquerel menjadi orang yang pertama kali mencetuskan teknologi fotovoltaik.
Tidak muluk-muluk, kala itu pengembangan teknologi fotovoltaik bertujuan untuk membuktikan energi cahaya bisa menghasilkan listrik. Semula, teknologi fotovoltaik tercetus melalui uji coba penyinaran dengan dua elektroda. Saat itu, penyinaran ini menggunakan selenium yang hanya sedikit menghasilkan energi listrik.
Selanjutnya, pada 1904, Albert Einstein pun melakukan penelitian terhadap sel surya. Einstein menamakan percobaannya sebagai efek fotolistrik. Puncaknya, pada 1941, peneliti asal Amerika Serikat, Russel Ohl berhasil mengembangkan teknologi panel surya. Teknologi tersebut dikenal sebagai teknologi solar sel modern dan digunakan hingga kini.