Jakarta, 12 November 2022 (SAHITYA.ID) – Sistem energi tradisional sedang beralih dari berbasis fosil ke nol karbon. Ketika masa depan akan datang dengan cepat, organisasi di setiap industri akan segera berurusan dengan lanskap energi yang sangat berbeda.
Perlu diketahui, terus meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah berdampak pada terjadinya peningkatan suhu global dan perubahan iklim. Bagi Indonesia, perubahan iklim mengakibatkan terjadinya iklim ekstrem yang memicu terjadinya bencana.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan, bencana hidrometeorologi yang terjadi sepanjang 2020 berupa banjir sebanyak 1.080 kasus, kekeringan 29 kasus, tanah longsor 577 kasus, puting beliung 880 kasus, dan gelombang pasang atau abrasi 36 kasus.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”tags” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Berbagai bencana hidrometeorologi tersebut menimbulkan kerugian ekonomi. Untuk mengurangi peningkatan suhu global tersebut, perlu upaya mengurangi emisi GRK.
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi GRK hingga 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Komitmen pemerintah ini sesuai dengan ratifikasi Paris Agreement yang disepakati 2015 lalu.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017), komitmen tersebut telah dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan dilakukan melalui upaya mitigasi dan adaptasi dalam berbagai sektor, salah satunya sektor energi.
Sektor energi adalah penyumbang emisi GRK terbesar. Di sektor energi, upaya mitigasi dan adaptasi dilakukan dengan kebijakan pengembangan energi bersih atau green energy, melakukan transformasi bauran energi baru terbarukan sebesar 23% di 2025, dan pengurangan penggunaan energi dari bahan bakar fosil.
Selain itu, percepatan transisi energi juga diperlukan karena produksi energi dari bahan bakar fosil di Indonesia mulai menurun. Dalam Outlook Energi Indonesia 2019 (Dewan Energi Nasional, 2019), disebutkan bahwa produksi minyak bumi selama 10 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dari 346 juta barel pada 2009 menjadi sekitar 283 juta barel pada 2018.
Transisi energi menyangkut pergeseran dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan dalam upaya mengurangi emisi CO2. Sejauh mana dan seberapa cepat bauran energi global bergeser tergantung sebagian besar pada dinamika global dan respons sosiatal terhadap perubahan iklim.
Karena itu, peningkatan pemanfaatan green energy atau energi bersih juga merupakan bagian dalam upaya pemerintah menjaga ketahanan dan kemandirian energi.
Green energy merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut sumber energi yang ramah lingkungan atau energi bersih. Pemanfaatan green energy penting karena dapat membawa keuntungan ganda, terutama bagi negara berkembang.
Bast & Krishnaswamy (2011) menyebutkan, penggunaan green energy dapat mengurangi perubahan iklim. Kedua, pemakaian terus menerus green energy tidak akan mengurangi sumber daya alam dan merusak lingkungan, juga mengakibatkan dampak yang sedikit terhadap kesehatan.
Sumber energi yang masuk dalam kelompok green energy adalah sumber energi yang berasal dari renewable energy, yang di Indonesia diistilahkan dengan energi terbarukan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain: panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar. Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM (Dewan Energi Nasional, 2019), total potensi energi terbarukan diperkirakan ekuivalen 442 GW digunakan untuk pembangkit listrik, dan BBN (Bahan Bakar Nabati) dan Biogas sebesar 200 ribu Bph digunakan untuk keperluan bahan bakar pada sektor transportasi, rumah tangga, komersial, dan industri.
Dari potensi energi terbarukan sebesar itu, pemanfaatannya baru untuk pembangkit listrik yang di tahun 2018 hanya sebesar 8,8 GW atau 14% dari total kapasitas pembangkit listrik (fosil dan nonfosil) sebesar 64,5 GW.
Menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, rendahnya sumbangan pembangkit listrik dari energi terbarukan terjadi karena kurangnya kesiapan jaringan transmisi PT PLN, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), kesulitan mengakses pendanaan murah, serta harga pengembangan energi terbarukan yang masih tergolong mahal.