Jakarta, 5 November 2022 (SAHITYA.ID) – Salah satu tantangan dalam konversi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik adalah ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Selayaknya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), SPKLU juga perlu diperbanyak dengan sistem pengisian daya yang cepat.
Kementerian Perhubungan mengungkapkan sejumlah tantangan percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yang salah satunya keterbatasan jumlah SPKLU.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”tags” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
“Ketersediaan SPKLU yang masih terbatas ini kita upayakan untuk berkolaborasi dengan Kementerian ESDM dan PT PLN untuk mencapai ekosistem electric vehicle yang kondusif,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Hendro Sugiatno di Jakarta, pada Selasa (1/11/2022) lalu.
Menurut Hendro, seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah dan pengusaha diharapkan juga turut berkontribusi dalam percepatan ekosistem kendaraan listrik.
Dia menjelaskan, setiap gedung yang baru dibangun atau lokasi yang menjadi pusat kegiatan masyarakat diminta untuk menyediakan fasilitas SPKLU.
Selain ketersediaan SPKLU, Hendro menyampaikan Kemenhub juga mendorong agar Kementerian Perindustrian membuat standar terkait baterai kendaraan listrik, baik dari bentuk maupun spesifikasi.
Dia menilai, keseragaman baterai yang beredar akan mempermudah masyarakat dalam bermobilitas menggunakan kendaraan listrik.
“Kalau roda dua ya sistem swap, diharapkan semua kendaraan listrik pakai baterai yang sama sehingga mudah dan sangat efisien. Kalau roda empat diharapkan banyak SPKLU yang fast charging,” ujarnya.
Hendro menyatakan, pemerintah berupaya agar Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar mobil listrik. Sehingga tidak hanya menjadi konsumen semata.
Selain itu, Kemenhub juga terus mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel yang mampu mengkonversi kendaraan konvensional berbasis bahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan listrik.
Hendro mengatakan, pemerintah yang dikoordinir oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) tengah merumuskan pemberian insentif bagi kendaraan listrik roda empat dan roda dua. Serta kendaraan konversi supaya minat masyarakat menggunakan kendaraan listrik terus meningkat.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa infrastruktur harus tersedia sebelum masyarakat beralih ke kendaraan listrik secara masif.
“Banyak cara, bisa dari insentif pajak impor komponen, insentif pajak tahunan kendaraan, sampai tarif parkir atau tol yang lebih murah. Tapi, yang pasti infrastrukturnya juga harus siap,” katanya.
Energi Surya Solusi Alternatif
Sementara itu, Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Ayi Bahtiar mengungkapkan, energi surya dapat menjadi alternatif solusi dalam mendukung era kendaraan listrik di Indonesia.
Energi ini dapat digunakan untuk penyediaan listrik di SPKLU.
“Terbayang kalau SPBU isi bensin itu 2-3 menit, kalau ini harus berjam-jam. Artinya bahwa nanti akan menumpuk di tempat pengisian baterai,” kata Ayi dikutip dari laman Unpad.
Di sisi lain, memperbanyak SPKLU berdampak pada peningkatan kebutuhan daya listrik yang besar. Saat ini penyediaan listrik sebagian besar masih bergantung pada energi fosil atau tidak terbarukan, seperti batu bara dan minyak bumi.
Jika konsumsi menjadi meningkat, energi fosil menjadi terbatas. Maka dikhawatirkan berdampak pada kenaikan tarif listrik.
Karena itu, energi surya menjadi alternatif energi terbarukan untuk mendukung penyediaan lokasi pengisian baterai kendaraan listrik. Energi matahari dikonversi menjadi energi listrik secara langsung melalui panel surya sehingga dapat menyediakan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Ayi memaparkan, energi surya menyediakan sekitar 23.000 tera watt, jauh lebih besar dibandingkan dengan energi lainnya. Konversi energi surya menjadi listrik dapat dilakukan dengan menggunakan panel surya ataupun solar termal.
Saat ini, panel surya yang digunakan di pasaran terdiri dari dua jenis, yaitu silikon polikristal dan silikon monokristal.
Silikon polikristal memiliki harga cukup murah, tetapi menghasilkan efisiensi konversi yang rendah, sekitar 11 – 15 persen. Hal ini akan membuat pengisian baterai menjadi lama.
Sementara silikon polikristal memiliki efisiensi konversi lebih tinggi, di atas 25 persen. Akan tetapi, material ini memiliki harga lebih mahal dibandingkan silikon monokristal.
“Oleh karena itu, riset sekarang banyak difokuskan untuk meningkatkan efisiensi konversi tapi harganya lebih murah,” ujarnya.
Di luar tantangan tersebut, penyediaan SPKLU berbasis panel surya mampu membuka peluang bisnis. Stasiun pengisian dapat diintegrasikan dengan aktivitas bisnis.
“Nanti bisa ada kafe/lokasi wisata yang menyediakan stasiun pengisian baterai,” tuturnya.