Jakarta, 24 Oktober 2022 – Guna mewujudkan transisi energi menuju nol emisi karbon alias net zero emissions (NZE), Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk berkomitmen memanfaatkan bahan bakar nabati (BBN). Adanya perubahan target penurunan emisi karbon menjadi 32 persen pada 2030 mendatang, dari target semula yang hanya 29 persen, tentu pengembangan biofuel menjadi jalan strategis yang harus ditempuh guna tercapainya nol emisi karbon sebesar 32 persen pada 2030, mendatang.
Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah akan mendorong penurunan emisi melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi, serta pelaksanaan program pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT), serta program pendukungnya menuju nol emsisi karbon, baik dari sisi hulu maupun sisi hilir.
“Pergeseran pemanfaatan EBT di dalam negeri, baik dari sisi elektrifikasi maupun Bahan Bakar Nabati/BBN, secara RUPTL akan ada tambahan 20,9 GW dari sisi pembangkit. Dari sisi regulasi, biofuel akan mengisi proses transisi, dimana upaya Pemerintah saat ini sedang menyusun kebijakan B40 dan implementasi pengembangan biogas. Kami akan terus bekerja sama dalam pengembangan teknologi pemanfaatan BBN,” kata Dadan belum lama ini.
- Advertisement -
Adapun terkait pengembangan bioavtur, lanjut dia, Dirjen EBTKE sedang berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan. “Bioavtur bisa dimanfaatkan sebagai campuran, waktu itu baru 2,4 persen karena ada hambatan dari sisi infrastruktur. Kami sedang mencoba bersama Kemenhub dari sisi pencampurannya,” bebernya.
Pengembangan bioavtur dengan teknologi co-processing saat ini dilakukan melalui pengolahan RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dilaksanakan di Refinery Unit (RU) IV Cilacap milik PT Pertamina (Persero). J2,4 merupakan campuran bioavtur yang dihasilkan dari bahan baku 2,4% & RBDPKO. Penyebutan “2,4” menandakan persentase pencampuran dari bahan bakar bioavtur pada bahan bakar avtur.
“Memang, ini tidak terbatas pada biofuel, tidak terbatas pengembangan biofuel konvensional ethanol, green fuel yang polanya berbeda dari yang sekarang,” kata dia.
Di antara proyek strategis nasional green fuel yakni membangun Green Refinery di RU III Plaju untuk mengolah CPO dengan kapasitas 20.000 BPD, Revamping existing unit TDHT yang sebelumnya mengolah kerosene menjadi biorefinery di RU IV Cilacap, pabrik percontohan diesel biohidrokarbon & Bio-Avtur kapasitas 1300 L bahan baku per hari di RU IV Cilacap dan proyek Katalis Merah Putih yang menggunakan teknologi hasil riset peneliti ITB yang bekerja sama dengan Pertamina.
Dadan pun mengungkapkan strategi dan rencana strategis pengembangan biofuel Indonesia, diantaranya;
– Tidak terbatas untuk biodiesel, termasuk bioethanol, bioavtur dan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil);
– Tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan;
– Spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen;
– Pemanfaatan by product biodiesel;
– Pemanfaatan hasil sawit non-CPO (Crude Palm Oil);
– Mengembangkan teknologi terkini bahan bakar nabati.
“Kita mendorong tidak hanya dinikmati pengusaha besar, tetapi kerakyatan juga. Kita terus berupaya meningkatkan kualitas penggunaan biofuel sesuai perkembangan teknologi enzim dan kebutuhan konsumen tetapi dari sisi produksi lebih efisien. Dari sisi harga bagaimana supaya lebih transparan, khusus biodiesel, kita sedang menyusun kebijakan harga khusus biodiesel,” ujarnya.