Jakarta, 6 November 2022 (SAHITYA.ID) – Adalah Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth, dua insinyur tambang asal Belanda ikut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin sejak 1874. Kedatangan keduanya kelak membuka jalan untuk tambang batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Jacobus dan Daniel melanjutkan apa yang dilakukan W. H de Greeve pada 1872. De Greeve sejatinya melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun nasib sial, penemu batubara di Ombilin itu tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri, saat melakukan penelitian.
Sebelum de Greeve datang, Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC, perusahaan multinasional asal Belanda menduduki Pulau Cingkuak (Poulo Chinco) pada awal Mei 1662. Penguasaan oleh VOC didasarkan konsesi untuk berdagang di Sumatra’s Westkust melalui Perjanjian Painan (W.J.A. de Leeuw, Het Painansch Contract. Amsterdam: H.J. Paris, 1926).
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”tags” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
VOC menguasai Cingkuak pada 1662 dan menjadikan pulau kecil itu sebagai jangkar untuk menduduki Kota Padang. Pulau ini juga digunakan hingga lebih satu abad kemudian sebagai loji untuk keperluan perdagangan lada dan pala, bahkan mengelola tambang emas Salido.
Kembali ke Jacobus dan Daniel, Veth kemudian menulis laporan yang berjudul ‘The Expedition to Central Sumatra’. Karena permasalahan birokrasi di pemerintah Belanda saat itu akhirnya batu bara di Ombilin, Sawahlunto baru ditambang pada 1891.
Adapun produksinya baru dilakukan setahun kemudian setelah semua infrastruktur pendukung rel kereta api untuk jalur pengangkutan dan pelabuhan, untuk jalur penangkapan telah rampung dibangun.
Namun, penambangan di Sawahlunto bermula dari ekspedisi seorang geolog asal Belanda bernama de Groet. Pada pertengahan abad ke-19, ia mendeteksi kandungan emas hitam di sekitar Sungai Ombilin.
Satu dekade kemudian, ekspedisi dilanjutkan oleh R. DM. Verbeck, ahli kebumian yang juga berasal dari Belanda. Dia menemukan simpanan batu bara di sepanjang alur sungai yang jumlahnya ditaksir mencapai puluhan juta ton. Nilai yang cukup fantastis kala itu.
Hanya perlu waktu sebentar, produksi batu bara dimulai. Tambang Sawahlunto pun akhirnya menjadi simbol persentuhan antara teknologi Eropa dengan kekayaan alam Indonesia. Berkat ekspedisi itu, kini Sawahlunto diakui sebagai situs tambang tertua di Asia Tenggara.
Tambang batu bara Sawahlunto punya daya pikat lantaran metode penambangannya yang tergolong langka. Cara menambangnya dari bawah tanah, lewat lorong-lorong. Hingga kini, Ombilin tercatat sebagai salah satu tambang batubara di Indonesia yang memakai metode tambang bawah tanah.
Cerita Manusia Rantai
Membahas sejarah tambang batu bara Sawahlunto tak lengkap jika tidak mengulas cerita soal Lubang Tambang Mbah Soero atau Suro. Lubang tersebut menyimpan sejarah kelam tentang manusia rantai rantai.
Istilah ‘manusia rantai’ merujuk pada pekerja pribumi di lokasi tambang di Sawahlunto yang membangkang, sebagian berstatus tahanan politik. Mereka dipekerjakan secara paksa.
Rantai sendiri dipasangkan pada kaki, tangan, dan leher mereka di mana setiap bekerja selalu diikat tali besi. Kisah kelam nan seram di Lubang Mbah Soero itu menunjukkan betapa kejamnya masa penjajahan Belanda.
Lubang Mbah Soero sendiri lokasinya berada di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Soero adalah nama seorang mandor yang dulu bertugas di lubang tersebut.
Dia dikenal sebagai pekerja keras, tegas, dan disegani para buruh tambang. Lubang Mbah Soero memiliki tinggi dan lebar sekitar dua meter. Adapun kedalamannya mencapai 15 meter dari permukaan tanah, dengan total panjang mencapai ratusan meter.
Di beberapa bagian, pintu lubang menuju ke dalam, ditutup menggunakan terali besi. Dulunya lubang itu digunakan untuk menampung pekerja tambang yang sakit tapi dibiarkan sampai mati.
Sementara, orang-orang rantai yang jumlahnya mencapai ratusan itu diperlakukan tidak manusiawi. Mereka bekerja siang malam tanpa diberi makanan yang layak. Sebagaimana cerita pribumi dan penjajah umumnya, ‘jika ingin bertahan hidup, maka harus terus kerja’.
Dari kisah yang disampaikan para penutur di sekitaran tambang, banyak pekerja tambang yang tewas mengenaskan di lubang itu. Mayatnya ditimbun begitu saja di dalam gorong-gorong. Beberapa malah diselipkan di dinding-dinding lubang.
Namun, kini Lubang Mbah Soero dibuka untuk wisatawan pada 2007 setelah beberapa kali mengalami pemugaran. Di lokasi tersebut, saluran air dan udara juga ditambahkan agar pengunjung dapat memasukinya dengan nyaman.
Sebelum menyusuri lubang tersebut, setiap wisatawan yang hendak masuk wajib memakai helm dan sepatu pengaman, serta ditemani seorang pemandu.
Bekas galian tambang Ombilin yang terletak di Sawahlunto saat ini disulap oleh PT Bukit Asam Tbk menjadi museum sejarah yang diakui dunia. Museum tersebut dinamakan Museum Tambang Batu Bara Ombilin.
Berbagai peralatan tambang batu bara dan perkembangan teknologi alat tambang juga ditampilkan dalam museum tersebut.
Pada 16 Juli 2019, tambang Ombillin ditetapkan sebagai situs budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).