Jakarta, 10 November 2022 (SAHITYA.ID) – Upaya pemerintah melakukan early retirement atau pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara semakin gencar. Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Maritm dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan bahwa pemerintahakan mengumumkan penghentian operasional PLTU batu bara.
Luhut mengatakan, pengumuman itu dalam agenda puncak acara KTT G20, Presidential Summit di Bali 15-16 November 2022 mendatang.
Keputusan PLTU batu baru pensiun dini dan mengubah ke pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) menjadi langkah awal menuju energi bersih.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”categories” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Terkait upaya pengurangan emisi karbon, Luhut mengaku perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan lembaga keuangan internasional.
“Kami akan mengumumkan salah satu langkah sukses kami dalam menghentikan operasional pembangkit batu bara dan mengubahnya ke pembangkit berbasis EBT,” ujar Luhut dalam pertemuan COP 27 seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (9/11/2022).
Lantas, bagaimana dengan nasib pekerja PLTU batu bara nantinya?
Menurut Jacqueline Tao, analis di TransitionZero, sektor PLTU batu bara ini mempekerjakan sekitar 250.000 orang yang sebagian besar adalah pekerja berketerampilan rendah. Analisis tersebut menemukan bahwa mengganti PLTU batu bara Indonesia dengan tenaga surya akan menciptakan lima pekerjaan baru untuk setiap hilangnya satu pekerjaan langsung di pembangkit listrik.
Tetapi, dengan catatan bahwa peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang akan menjadi bagian penting dari rencana transisi.
“Mengatasi dampak pada komunitas lokal adalah penting untuk mencapai transisi yang adil. Untuk pembangkit batubara yang sudah beroperasi, sebagian besar pekerjaan yang terkait dengan masing-masing pabrik difokuskan pada tugas operasi dan pemeliharaan,” kata Tao dikutip Sahitya.id, Kamis (10/11/2022).
Dalam laporan tersebut terungkap, untuk Indonesia rata-rata 1,3 pekerjaan/MW di PLTU batu bara atau setara dengan rata-rata 245 pekerjaan yang terkait dengan masing-masing pabrik batu bara.
Meskipun pasti akan ada kehilangan pekerjaan terkait dengan penutupan pabrik, hal itu hanya satu sisi dari cerita. Di Indonesia, pekerjaan yang terkait dengan angin matahari dan angin darat adalah 2 pekerjaan/MW dan 5 pekerjaan/MW. Ini menjelaskan pembangunan konstruksi dan proyek, serta operasi dan pemeliharaan instalasi yang sedang berlangsung.
Dengan asumsi bahwa pengganti pembangkit energi terbarukan dibangun untuk setiap pensiun PLTU batu bara, ini akan diterjemahkan ke rata-rata 1.580 pekerjaan baru yang dibuat per instalasi listrik berbasis surya, dan 2.265 pekerjaan per penggantian instalasi pembangkit listrik berbasis angin darat.
Analisis tersebut juga mengidentifikasi sejumlah pembangkit batu bara yang sesuai untuk program pensiun dini, berdasarkan faktor-faktor seperti biaya pensiun, dampak pada sistem jaringan yang ada, emisi gas rumah kaca, tekanan air, dan polusi udara.
Tao mengatakan, solusi penutupan PLTU batu bara rumit dan pendekatannya harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan ketenagalistrikan suatu negara. Terutama bagi negara-negara seperti Indonesia, yang bergantung pada ekstraksi bahan bakar fosil sebagai pusat pembangunan ekonomi.
“Rencana penghentian batu bara harus terukur, layak, terjangkau, dan adil bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat. Selain itu, rencana peningkatan keterampilan ulang dan pelatihan pekerja sangat penting untuk memastikan transisi yang mulus dan adil bagi pekerja,” ujar Tao.