Jakarta, 8 November 2022 (SAHITYA.ID) – Membicarakan ketahanan pangan di masa depan terkadang membuat kita khawatir melihat krisis iklim dan pemanasan global yang bisa membuat produktivitas pertanian menurun. Ditambah meledaknya jumlah penghuni bumi dalam beberapa dekade ke depan.
Menepis kekhawatiran tersebut, sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Oceanography menyebutkan masalah produksi pangan global di masa depan bisa teratasi dengan menumbuhkan mokroalga padat protein di peternakan akuakultur pesisir. Mereka berspekulasi memproyeksikan 100 persen permintaan protein global dapat disediakan oleh mikroalga laut pada 2050.
Selama 35 tahun ke depan, populasi manusia diproyeksikan mencapai 10 miliar orang. Masalahnya, untuk memenuhi kebutuhan makanan miliaran penghuni bumi itu diperlukan adanya perubahan signifikan pada sistem produksi pangan global.
[inline_related_posts title=”Baca juga:” title_align=”left” style=”list” number=”3″ align=”none” ids=”” by=”categories” orderby=”rand” order=”DESC” hide_thumb=”no” thumb_right=”no” views=”no” date=”yes” grid_columns=”2″ post_type=”” tax=””]
- Advertisement -
Peneliti dari Departemen Ilmu Bumi dan Atmosfer Universitas Cornell, Charles Green menyebutkan, dunia menghadapi tantangan dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang menyebabkan penurunan hasil produksi di sektor pertanian.
“Kami tidak dapat memenuhi tujuan kami dengan cara kami saat ini memproduksi makanan dan ketergantungan kami pada pertanian terestrial,” beber Green melansir dari NewAtlas.com.
Makalah yang disusun Green dan koleganya memaparkan terkait skenario di mana peternakan akuakultur darat baru dapat menumbuhkan volume mikroalga dengan sangat signifikan. Ia mengklaim jejak lingkungan dari model pertanian baru tersebut mampu mengurangi deforestasi dan tidak memerlukan tanan ataupun pupuk karena menggunakan sistem akuakultur darat.
“Kami memiliki kesempatan untuk menanam makanan yang bergizi tinggi, tumbuh cepat, dan kami dapat melakukannya di lingkungan di mana kami tidak bersaing untuk penggunaan lain. Kami menanamnya di fasilitas yang relatif tertutup dan terkendali, kami tidak memiliki dampak lingkungan yang sama,” ujarnya.
Tulisan Green dan koleganya pun menjelaskan model lokasi geografis yang cocok untuk fasilitas akuakultur darat. Ia menyarankan lokasi yang optimal untuk pertanian mikroalga tersebut berada di pantai utara Australia, Afrika timud dan barat laut Amerika.
“Alga sebenarnya bisa menjadi bahan pengganti terigu dalam roti untuk Global South.Di lahan sempit itu, kita bisa menghasilkan lebih dari semua protein yang dibutuhkan dunia,” klaimnya.
Terlepas dari hal tersebut, makalah yang disajikan Green terkesan spekulatif karena hanya memuat eksprimental pemikiran saja tanpa ada upaya riset mendalam yang lebih realistis. Hal yang paling sederhana, adalah bagaimana melakukan survei terhadap orang-orang terkait penggunaan ganggang sebagai olahan makanan.
Ia menyebutkan kalau ganggang mampu menopang 10 miliar orang, tapi pada kenyataannya tidak mungkin sepenuhnya mikroalga tersebut bisa menggantikan makanan yang biasa dikonsumsi orang-orang. Namun, ganggang pun bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan di sektor industri pertanian.
Riset terbaru dari Jules Siedenburg dari Universitas East Anglia, mengusulkan beberapa aplikasi kunci untuk ganggang yang dapat secara signifikan mengurangi dampak pertanian saat ini terhadap lingkungan. Siendenburg menyebutkan, selain efektif digunakan sebagai suplemen makanan bergiji, mikroalga pun dapat digunakan sebagai pakan ternak dan berfungsi sebagai pupuk baru bagi tanaman.
“Studi awal biofertilizer dan biostimulan berbasis mikroalga menunjukkan bahwa mereka dapat meningkatkan produktivitas sambil juga membangun ketahanan tanaman terhadap tekanan terkait iklim seperti suhu tinggi, kelangkaan air, dan salinitas tanah,” tulis Siedenburg dalam sebuah artikel untuk The Conversation .
“Tanaman jagung yang diberi perlakuan, misalnya, menunjukkan akar yang lebih berkembang daripada tanaman yang tidak diberi perlakuan. Ini menghasilkan ketahanan yang lebih baik terhadap kekeringan,” ungkapnya.
Tak dapat dipungkiri, ganggang merupakan tanaman yang memiliki kadar protein tinggi yang mudah dibudidayakan. Para peneliti kini sedang mengerjakan banyak cara untuk memasukkannya ke dalam makanan kita tanpa memaksa kita untuk mengunyahnya dalam bentuk alami.
Pada awal 2022, sebuah startup menghadirkan pengganti salmon asap yang dibuat sepenuhnya dari spirulina, ganggang biru-hijau yang umum. Perusahaan lain beberapa tahun yang lalu mengusulkan bentuk rumput laut rekayasa yang dirancang agar terasa seperti makanan yang lebih umum dikonsumsi sehari-hari.